DI SEBUAH SOFA RUANG TAMU YANG DI DEPANNYA TERDAPAT MEJA. DI ATAS MEJA
ITU JUGA TERDAPAT SECANGKIR TEH, KOPI, DAN PIGORA BESAR YANG DI DALAMNYA
TERDAPAT SEBUAH FOTO. SEORANG PEREMPUAN PARUH BAYA DUDUK DI SANA DENGAN PAKAIAN
ALAKADARNYA DENGAN MEMAKAI SANDAL JEPIT KARENA RUMAHNYA BELUM TERPASANG
KERAMIK, DIA TETAP KHUSYUK MEMANDANGI FOTO DALAM PIGORA.
Saban pagi aku tak
henti mengenangmu. Kita selalu duduk berdua sebelum kau pergi bekerja.
Secangkir kopi untukmu dan secangkir teh untukku, lalu kita mengobrol dengan
hangat sebelum kau meneteskan keringat. Aku masih ingat betul pak, tiga tahun
yang lalu kasih sayangmu masih sangat melekat di kepalaku. Ya, tiga tahun
bukanlah waktu yang cukup untuk melupakan kebaikanmu.
TIBA-TIBA DARI TERAS RUMAH BAGIAN DEPAN TERDENGAR SUARA KETUKAN PINTU.
PEREMPUAN ITU TERKEJUT, TAPI DIA TIDAK MAU MEMBUKAKAN PINTU. DIA TERUS
MEMANDANGI FOTO DALAM PIGORA YANG SEMULA TERLETAK DI BELAKANG CANGKIR KOPI YANG
ENTAH UNTUK SIAPA.
Kenapa? Mencariku? Aku
tidak akan membukakan pintu, karena aku tahu kau pasti juga mengincarku. Belum
puas juga kau mengganggu. Asal kau tahu, saban pagi aku membuatkan kopi untuk
mengenang Salim. Saban pagi aku terduduk di sini bersama sebingkai foto dengan
secangkir teh dan kopi kemudian termenung seperti orang gila. Ya, saban pagi
karena ulahmu aku menjadi seperti ini dan tetap seperti ini. Keparat!
(MELEMPARKAN SANDAL KE ARAH KETUKAN PINTU). (KETUKAN PINTU BERHENTI) Nah,
begitu, tenanglah sebentar.
Salim adalah suami yang
baik. Tidak hanya kepadaku, bahkan tetangga juga menjadi saksi kebaikannya. Aku
tak menyangka bila akhirnya air susu dibalas air tuba. Mungkin memang dia sudah
tenang, tapi tidak denganku. Aku masih terngiang kejadian tiga tahun lalu.
Kejadian yang membuatnya begitu semangat menjemput maut.
(MENGELUS FOTO DALAM
PIGORA) asal kau tahu, aku begitu salut dengan keberanianmu pak. Dengan bangga
kau busungkan dada untuk melawan para penambang pasir itu. Ya, mereka berani
bukan karena tulus, tapi karena harta dan senjata. Bagaimana tidak, mereka tak
segan-segan memukulmu dengan celurit, dengan cangkul, dengan apa-apa yang ada
di tangan mereka. Ya, mereka terus menyiksamu sampai anak kita sendiri yang
memberikan kabar atas meninggalnya dirimu. Tentu saja aku begitu panik dan menangis
sejadi-jadinya. Istri mana yang tidak sedih jika ditinggalkan suami tercinta.
Aku begitu terpukul, sekarang tinggal rasa sesak yang menyelimuti dada ini. Oh,
Salim.
KETUKAN PINTU TERDENGAR SEMAKIN KERAS, DITAMBAH SUARA PERABOTAN MEMASAK
YANG TERLEMPAR BERULANG-ULANG DARI ARAH DAPUR MEMBUAT SUASANA SEMAKIN GADUH.
PEREMPUAN ITU SANGAT KETAKUTAN DAN SEMAKIN ERAT MEMELUK FOTO DALAM PIGORA.
Suamiku orang baik,
tapi nasib baik tidak selalu melekat padanya. Bahkan ketika aku meminta polisi
untuk menghukum pelaku, mereka bilang 20 tahun adalah hukuman yang sangat adil.
Tidak! Nyawa suamiku tidak bisa terbayarkan dengan apapun, jelas saja aku
menuntut lebih atas hukuman yang diberikan kepada 60 orang pembunuh bayaran
itu. Jelas, mereka tidak lain pasti mendapat bayaran atas perbuatannya.
Pembunuhan ini tentu tersusun rapi, sehingga 60 orang dengan tertib mencabik
habis tubuh suamiku yang setengah tua itu.
PEREMPUAN ITU TETAP MENDEKAP PIGORA BESAR YANG SEBESAR BADANNYA, YANG
RAPUH SERAPUH USIANYA, YANG USANG SEUSANG HIDUPNYA. SEMBARI MENIKMATI SECANGKIR
TEH YANG SUDAH MULAI DINGIN KARENA DIACUHKAN.
Oh Gusti, aku rindu
suamiku. Bapak adalah orang baik, tidak pernah sekalipun menyakiti hati orang,
tapi kenapa bisa banyak orang berebut menyakitinya. Aku masih ingat betul
kejadian itu, betapa rakus mereka mencangkul leher bapak, memukul-mukulkan
celurit ke tangan bapak, kemudian mereka melindas bapak dengan motor seperti
arena balap. Ya, aku masih ingat betul, persis seperti itu kejadiannya. Tapi
kalau diingat-ingat, bikin sedih dan sakit hati.
KETUKAN PINTU TIDAK PERNAH BERHENTI, BAHKAN SEMAKIN KERAS YANG
MENGUNDANG KERIBUTAN KARENA BERIRINGAN DENGAN SUARA PERABOTAN RUMAH.
SUARA-SUARA ITU MEMBUAT PEREMPUAN PARUH BAYA SEMAKIN PANIK, TAPI DIA TETAP
MENCOBA UNTUK TENANG DENGAN MENDEKAP FOTO DALAM PIGORA ERAT-ERAT.
Hai kau, jaga sopan
santun di rumah orang. Suamiku sudah pergi, dia takkan kembali lagi. Kau mau
membunuhku juga? Daging-dagingku sudah alot untuk dijual ke pengepul. Kulitku
juga sudah keriput, tidak menarik lagi di pasaran, jadi untuk apa membunuhku?
(KEMBALI MELIHAT FOTO DALAM PIGORA) oh Salim, semenjak kepergianmu aku menjadi
tidak tenang sekarang. Pikiranku terbayangkan olehmu dan penjahat-penjahat itu
dan ketidakadilan pemimpin dan hukum-hukum yang kurang tegas dan penderitaan
orang-orang miskin seperti kita yang semakin marak terjadi.
Aku kesal, manusia
semakin pintar saja saat ini. Tidak, aku tidak mempermasalahkan kepintaran
mereka, aku hanya kesal apabila kepintaran itu digunakan pada jalur yang salah,
mereka bisa tersesat kalau seperti itu terus. Ya bagus saja kalau saat tersesat
kemudian mereka menemukan harta di sepanjang jalan, setidaknya mereka memiliki
bekal untuk kembali dan mencari jalan yang benar. Tapi, kalau mereka tersesat
dan kehabisan bekal, bisa mati konyol. Sukur-sukur kalau matinya masuk surga,
sehingga tidak perlu merasakan siksaan yang mereka lakukan pada suamiku dulu.
Ya Gusti, suamiku. Apakah dia juga akan masuk surga? Seharusnya begitu, karena
suamiku adalah orang baik, ramah, sopan, tidak neko-neko. Tapi ya, memang dasar
manusia, kesambet duit sedikit sudah lupa segalanya. Mereka lupa kalau suamiku
adalah orang baik, mereka lupa kalau suamiku dibunuh, maka orang-orang baik di
dunia ini akan semakin berkurang. Dasar tolol!
SAAT PEREMPUAN ITU BERHENTI BICARA, KETUKAN PINTU ITU KEMBALI BERBUNYI
DAN SEMAKIN KERAS, RUMAH TERASA AKAN ROBOH, BAHKAN SECANGKIR TEH DAN KOPI
HAMPIR JATUH DARI MEJA.
Biarlah, orang jahat
memang pantas untuk dihiraukan agar mereka kapok dan tidak memiliki teman.
Tapi, manusia justru keliru dalam menanggapi persoalan ini, mereka malah
mendukung orang jahat dalam mengalahkan kebaikan. Mungkin, bagi mereka menjadi
baik sudah tidak seru lagi, karena menjadi jahat lebih mudah dan mendapat
banyak upah, seperti pembunuh-pembunuh Salim ini. Bahkan, Salim baik masih
tetap miskin sampai ajal menjemputnya. Mungkin itulah sebabnya manusia lebih
memilih berteman dengan orang jahat ketimbang orang baik.
SUARA KETUKAN DAN KEBISINGAN PERABOT DAPUR TELAH BERHENTI. PEREMPUAN ITU
MEMINUM TEH DAN SESEKALI MEMANDANGI FOTO DALAM PIGORA.
Loh, mengapa aku di
sini? Apa tidak sebaiknya aku segera menuntut keadilan kepada polisi? Ya, aku
akan tetap menuntut. Hukuman penjara 20 tahun tidaklah cukup untuk membayar
nyawa suamiku. Aku harus menuntut!
LAMPU PADAM, PERTUNJUKAN BERAKHIR, PEREMPUAN ITU PERGI.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar