Selasa, 01 Januari 2019

Subversif


DI SEBUAH SOFA RUANG TAMU YANG DI DEPANNYA TERDAPAT MEJA. DI ATAS MEJA ITU JUGA TERDAPAT SECANGKIR TEH, KOPI, DAN PIGORA BESAR YANG DI DALAMNYA TERDAPAT SEBUAH FOTO. SEORANG PEREMPUAN PARUH BAYA DUDUK DI SANA DENGAN PAKAIAN ALAKADARNYA DENGAN MEMAKAI SANDAL JEPIT KARENA RUMAHNYA BELUM TERPASANG KERAMIK, DIA TETAP KHUSYUK MEMANDANGI FOTO DALAM PIGORA.
            Saban pagi aku tak henti mengenangmu. Kita selalu duduk berdua sebelum kau pergi bekerja. Secangkir kopi untukmu dan secangkir teh untukku, lalu kita mengobrol dengan hangat sebelum kau meneteskan keringat. Aku masih ingat betul pak, tiga tahun yang lalu kasih sayangmu masih sangat melekat di kepalaku. Ya, tiga tahun bukanlah waktu yang cukup untuk melupakan kebaikanmu.

TIBA-TIBA DARI TERAS RUMAH BAGIAN DEPAN TERDENGAR SUARA KETUKAN PINTU. PEREMPUAN ITU TERKEJUT, TAPI DIA TIDAK MAU MEMBUKAKAN PINTU. DIA TERUS MEMANDANGI FOTO DALAM PIGORA YANG SEMULA TERLETAK DI BELAKANG CANGKIR KOPI YANG ENTAH UNTUK SIAPA.
            Kenapa? Mencariku? Aku tidak akan membukakan pintu, karena aku tahu kau pasti juga mengincarku. Belum puas juga kau mengganggu. Asal kau tahu, saban pagi aku membuatkan kopi untuk mengenang Salim. Saban pagi aku terduduk di sini bersama sebingkai foto dengan secangkir teh dan kopi kemudian termenung seperti orang gila. Ya, saban pagi karena ulahmu aku menjadi seperti ini dan tetap seperti ini. Keparat! (MELEMPARKAN SANDAL KE ARAH KETUKAN PINTU). (KETUKAN PINTU BERHENTI) Nah, begitu, tenanglah sebentar.
            Salim adalah suami yang baik. Tidak hanya kepadaku, bahkan tetangga juga menjadi saksi kebaikannya. Aku tak menyangka bila akhirnya air susu dibalas air tuba. Mungkin memang dia sudah tenang, tapi tidak denganku. Aku masih terngiang kejadian tiga tahun lalu. Kejadian yang membuatnya begitu semangat menjemput maut.
            (MENGELUS FOTO DALAM PIGORA) asal kau tahu, aku begitu salut dengan keberanianmu pak. Dengan bangga kau busungkan dada untuk melawan para penambang pasir itu. Ya, mereka berani bukan karena tulus, tapi karena harta dan senjata. Bagaimana tidak, mereka tak segan-segan memukulmu dengan celurit, dengan cangkul, dengan apa-apa yang ada di tangan mereka. Ya, mereka terus menyiksamu sampai anak kita sendiri yang memberikan kabar atas meninggalnya dirimu. Tentu saja aku begitu panik dan menangis sejadi-jadinya. Istri mana yang tidak sedih jika ditinggalkan suami tercinta. Aku begitu terpukul, sekarang tinggal rasa sesak yang menyelimuti dada ini. Oh, Salim.

KETUKAN PINTU TERDENGAR SEMAKIN KERAS, DITAMBAH SUARA PERABOTAN MEMASAK YANG TERLEMPAR BERULANG-ULANG DARI ARAH DAPUR MEMBUAT SUASANA SEMAKIN GADUH. PEREMPUAN ITU SANGAT KETAKUTAN DAN SEMAKIN ERAT MEMELUK FOTO DALAM PIGORA.
            Suamiku orang baik, tapi nasib baik tidak selalu melekat padanya. Bahkan ketika aku meminta polisi untuk menghukum pelaku, mereka bilang 20 tahun adalah hukuman yang sangat adil. Tidak! Nyawa suamiku tidak bisa terbayarkan dengan apapun, jelas saja aku menuntut lebih atas hukuman yang diberikan kepada 60 orang pembunuh bayaran itu. Jelas, mereka tidak lain pasti mendapat bayaran atas perbuatannya. Pembunuhan ini tentu tersusun rapi, sehingga 60 orang dengan tertib mencabik habis tubuh suamiku yang setengah tua itu.

PEREMPUAN ITU TETAP MENDEKAP PIGORA BESAR YANG SEBESAR BADANNYA, YANG RAPUH SERAPUH USIANYA, YANG USANG SEUSANG HIDUPNYA. SEMBARI MENIKMATI SECANGKIR TEH YANG SUDAH MULAI DINGIN KARENA DIACUHKAN.
            Oh Gusti, aku rindu suamiku. Bapak adalah orang baik, tidak pernah sekalipun menyakiti hati orang, tapi kenapa bisa banyak orang berebut menyakitinya. Aku masih ingat betul kejadian itu, betapa rakus mereka mencangkul leher bapak, memukul-mukulkan celurit ke tangan bapak, kemudian mereka melindas bapak dengan motor seperti arena balap. Ya, aku masih ingat betul, persis seperti itu kejadiannya. Tapi kalau diingat-ingat, bikin sedih dan sakit hati.

KETUKAN PINTU TIDAK PERNAH BERHENTI, BAHKAN SEMAKIN KERAS YANG MENGUNDANG KERIBUTAN KARENA BERIRINGAN DENGAN SUARA PERABOTAN RUMAH. SUARA-SUARA ITU MEMBUAT PEREMPUAN PARUH BAYA SEMAKIN PANIK, TAPI DIA TETAP MENCOBA UNTUK TENANG DENGAN MENDEKAP FOTO DALAM PIGORA ERAT-ERAT.
            Hai kau, jaga sopan santun di rumah orang. Suamiku sudah pergi, dia takkan kembali lagi. Kau mau membunuhku juga? Daging-dagingku sudah alot untuk dijual ke pengepul. Kulitku juga sudah keriput, tidak menarik lagi di pasaran, jadi untuk apa membunuhku? (KEMBALI MELIHAT FOTO DALAM PIGORA) oh Salim, semenjak kepergianmu aku menjadi tidak tenang sekarang. Pikiranku terbayangkan olehmu dan penjahat-penjahat itu dan ketidakadilan pemimpin dan hukum-hukum yang kurang tegas dan penderitaan orang-orang miskin seperti kita yang semakin marak terjadi.
            Aku kesal, manusia semakin pintar saja saat ini. Tidak, aku tidak mempermasalahkan kepintaran mereka, aku hanya kesal apabila kepintaran itu digunakan pada jalur yang salah, mereka bisa tersesat kalau seperti itu terus. Ya bagus saja kalau saat tersesat kemudian mereka menemukan harta di sepanjang jalan, setidaknya mereka memiliki bekal untuk kembali dan mencari jalan yang benar. Tapi, kalau mereka tersesat dan kehabisan bekal, bisa mati konyol. Sukur-sukur kalau matinya masuk surga, sehingga tidak perlu merasakan siksaan yang mereka lakukan pada suamiku dulu. Ya Gusti, suamiku. Apakah dia juga akan masuk surga? Seharusnya begitu, karena suamiku adalah orang baik, ramah, sopan, tidak neko-neko. Tapi ya, memang dasar manusia, kesambet duit sedikit sudah lupa segalanya. Mereka lupa kalau suamiku adalah orang baik, mereka lupa kalau suamiku dibunuh, maka orang-orang baik di dunia ini akan semakin berkurang. Dasar tolol!

SAAT PEREMPUAN ITU BERHENTI BICARA, KETUKAN PINTU ITU KEMBALI BERBUNYI DAN SEMAKIN KERAS, RUMAH TERASA AKAN ROBOH, BAHKAN SECANGKIR TEH DAN KOPI HAMPIR JATUH DARI MEJA.
            Biarlah, orang jahat memang pantas untuk dihiraukan agar mereka kapok dan tidak memiliki teman. Tapi, manusia justru keliru dalam menanggapi persoalan ini, mereka malah mendukung orang jahat dalam mengalahkan kebaikan. Mungkin, bagi mereka menjadi baik sudah tidak seru lagi, karena menjadi jahat lebih mudah dan mendapat banyak upah, seperti pembunuh-pembunuh Salim ini. Bahkan, Salim baik masih tetap miskin sampai ajal menjemputnya. Mungkin itulah sebabnya manusia lebih memilih berteman dengan orang jahat ketimbang orang baik.

SUARA KETUKAN DAN KEBISINGAN PERABOT DAPUR TELAH BERHENTI. PEREMPUAN ITU MEMINUM TEH DAN SESEKALI MEMANDANGI FOTO DALAM PIGORA.
            Loh, mengapa aku di sini? Apa tidak sebaiknya aku segera menuntut keadilan kepada polisi? Ya, aku akan tetap menuntut. Hukuman penjara 20 tahun tidaklah cukup untuk membayar nyawa suamiku. Aku harus menuntut!

LAMPU PADAM, PERTUNJUKAN BERAKHIR, PEREMPUAN ITU PERGI.